Rabu, 21 Oktober 2015

Penyimpanan Telur Tetas

Penyimpanan Telur Tetas

Penyimpanan Telur Tetas
Hal yang terbaik untuk memperlakukan telur tetas adalah langsung memasukkannya ke dalam incubator. Tetapi tentunya cara ini tidaklah mudah dan praktis untuk dilakukan. Hal yang masih baik dilakukan adalah mengumpulkan telur dan menyimpannya untuk hanya beberapa hari saja dan disimpan pada keadaan yang sejuk dan lembab. Keadaan yang sempurna adalah 60°F Dan kelembaban udara 75 %. Tetapi tidak dalam lemari es atau tempat lain yang mempunyai suhu dibawah 40oF karena akan menurunkan daya tetasnya dan biasanya dalam lemari es kelembaban udaranya adalah dibawah 50%.


Dikatakan perlu suhu yang cukup rendah tadi disebabkan karena suhu yang rendah memperlambat perkembangan embrio sampai telur-telur siap untuk dimasukkan ke dalam ruang incubator, sedangkan kelembaban yang tinggi akan mengurangi kelembaban di dalam telur karena penguapan. Untuk akurasi pengukuran maka diperlukan peralatan Termometer (untuk suhu) dan Hyangrometer (untuk kelembaban udara).

Temperatur (Wet Bulb) untuk penyimpanan

Temperature, oF.
Rel. Humidity
55
60
65
70
55%
47.2
51.4
55.5
60.0
60%
48.1
52.4
56.7
61.2
65%
49.0
53.4
57.8
62.3
70%
50.0
54.5
59.0
63.5
75%
50.9
55.4
60.0
64.6
80%
51.7
56.4
61.0
65.8
Department of Animal Science, the University of Minnesota Extension Service





Setelah telur-telur dirasa cukup untuk jumlahnya sesuai kemampuan incubator atau keinginan kita maka telur harus segera dimasukkan ke dalam incubator. Kemampuan daya tetas telur fertile masih baik jika penyimpanan sekitar 7 hari dan maksimum 10 hari. Selebihnya maka daya tetas telur akan menurun dan setelah 3 minggu maka telur tidak ada yang bisa menetas atau daya tetasnya 0%.
Syarat lain yang harus dilakukan selain kondisi suhu dan kelembaban pada saat penyimpanan sementara sebelum dimasukkan ke dalam incubator adalah telur-telur tersebut setelah 3 atau 4 hari disimpan harus diputar pagi dan sore. Hal ini penting untuk mencegah kuning telur di dalam telur tersebut tidak sampai menyentuh kulit telur dan merusak embrionya. Peletakannya pun sebaiknya dalam tray telur ,biasanya isi 30 setiap tray) yang dapat dibeli mudah di poultry shop dengan harga sekitar 3.000 perbuahnya, dengan ujung telur yang lebih tajam dibagian bawah kemudian dimiringkan sekitar 30 sampai 40 derajat. Selanjutnya rubah kedudukan telur tersebut pada pagi dan sore hari dengan kemiringan yang berubah ubah untuk tiap waktunya.
Telur-telur tersebut selanjutnya secara perlahan-lahan harus dihangatkan dahulu sebelum dimasukkan ke dalam incubator. Perubahan temperatur yang draktis atau mendadak akan menyebabkan terjadi pengembunan secara cepat di dalam telur dan hal ini akan berakibat buruk untuk daya tetas atau kerusakan struktur kulit telurnya.

AYAM PETELUR


BETERNAK SAPI PERAH

BETERNAK SAPI PERAH
Dalam pemeliharaan sapi perah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Seleksi Bibit
Jenis sapi perah yang biasa dipelihara adalah sapi FH (Fries Holland) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Warna bulu putih dengan bercak hitam.
- Berat badan betina dewasa 625 kg dan jantan 900 kg.
- Pembawaan betina tenang dan jinak sedangkan jantan agak panas.
- Daya merumput (Grazing ability) hanya baik pada pasture yang baik saja.
- Dewasa kelamin sapi FH agak lambat, umur pertama kali dikawinkan 15 – 18 bulan.
- Produksi susu relatif lebih tinggi dibandingkan sapi perah lainnya.
2. Pakan
Pakan sapi perah umumnya dibagi tiga :
a. Hijauan :
- Rumput - rumputan : Rumput gajah ( Pennisetum purpureum), Rumput Raja (King grass), setaria, benggala (Pennisetum maximum), rumput lapang dan BD (Brachiaria decumbens),
- Kacang-kacangan : Lamtoro, turi, gamal
b. Konsentrat :
Dedak, bunkil kelapa, bungkil kacang tanah, jagung kedelai.
c. Limbah pertanian :
Jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, dll.
Pakan yang diberikan kepada sapi perah secara umum berupa hijauan 60 % dari BK (berat kering) dan 40 % Konsentrat.
Dalam hal ini hijauan yang digunakan 75 % rumput alam dan 25 % rumput unggul.
Sebagai contoh bila berat sapi 450 kg dan produksi susu 13 kg / hari lemak 3,5 % dapat diberikan pakan : rumput alam 21 kg, rumput gajah 7,5 kg dan konsentrat pabrik 6 kg.
3. Kandang dan Peralatan
kandang yang dibuat harus memenuhi syarat antara lain : Terpisah dari rumah + 10 m, drainase dan ventilasi baik, lantai tidak licin, ada penampungan kotoran dan ukuran kandang 1,5 X 2,5 m / ekor.
4. Kesehatan Hewan
Beberapa penyakit yang sering menyerang sapi perah antara lain:
a. Radang Ambing / Mastitis
Penyebab : Bakteri Streptococcus agalactiae dan Staphilocossus aureus
Gejala : (pada mastitis akut) pembengkakan pada ambing, panas, keras dan terasa sakit diikuti demam, lemah dan nafsu makan hilang.
Pencegahan : Kebersihan kandang terutama pada lantai
Pengobatan : Antibiotik seperti pennicilin, Terramycin dll.
b. Antrax
Penyebab : Kuman Antrax
Gejala : Bengkak pada dada leher dan perut, keluar darah dari lubang hidung, rongga mulut, anus dan kelamin menjelang kehamilan.
Pencegahan : Vaksinasi Antrax.
c. Brucellosis
Penyebab : Kuman Brucella
Gejala : Biasanya terjadi keguguran pada kebuntingan 5 - 8 bulan.
Pencegahan : Pemeriksaan darah secara berkala, menjaga kebersihan kandang ternak, dan Vaksinasi.
5. Pengelolaan / Manajemen
a. Sapi dara : Sapi betina berumur 1 – 2 tahun atau lebih dan belum pernah beranak. Pemeliharaan dan pemberian pakan pada sapi dara sebelum beranak sangat mempengaruhi pertumbuhan.
b. Sapi Betina Dewasa : Dilakukan exercise (gerak jalan), pemeliharaan kuku, kebersihan badan, dan perlu diperhatikan perkembangan reproduksi seperti masa birahi, masa perkawinan, kebuntingan
dan beranak.
c. Pembuatan catatan meliputi catatan reproduksi dan kesehatan.
6. Pemasaran
Pemasaran dapat dilakukan melalui kelompok atau koperasi. Produk yang dipasarkan dapat berupa susu dan hasil olahannya, daging atau kulit.
7. Pasca Panen
Pasca panen sapi perah antara lain berupa produk caramel, tahu susu, kerupuk susu, abon, dendeng, sosis, tas, sepatu jaket dll.

SATWA HARAPAN



1. Pendahuluan

Perkembangan usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang diusahakan untuk diambil hasilnya. Perluasan ini dibuktikan dengan munculnya istilah baru, yaitu ‘satwa harapan’. Berdasarkan perbedaan dari definisi antara hewan dan ternak, dimana hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang liar. Ternak adalah hewan piaraan yang kehidupannya diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus untuk diambil hasil dan jasanya bagi kepentingan hidup manusia. Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang atau satwa selain binatang yang dipelihara/diternakan tersebut dan diharapkan apabila diusahakan dapat menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai jenis satwa harapan tersebut, contohnya antara lain ; burung (burung puyuh,ayam hutan), cucak rawa, reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu, banteng, rusa, gajah dan anoa.
Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming. Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti misalnya burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu :
  •  Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak, kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta pemanfaatannya. 
  • Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia. 
  • Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses penangkaran
  • Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk.

Penangkaran dalam rangka budi daya dilakukan dengan sasaran utama komersiil terutama dari segi peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode  ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti misalnya : inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan genetik. Namun demikian, ini hanya boleh dilakukan bagi satwa/binatang hasil penangkaran pertama karena menyangkut nilai sosila etis dan undang-undang tentang perlindungan satwa liar yang merupakan satwa langka.
Suatu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, selain proses pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama skali tidak benar, sebab mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain (Ertingham, 1984). Hal lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah pendapat bahwa pada domestikasi ada satu atau dua spesies yang tidak dapat mengeksploitasi potensi vegetasi makanannya secara penuh seperti pada saat mereka hidup di alam bebas. Hal ini mungkin ada benarnya dan dapat dibuktikan pada satwa-satwa domestik seperti misalnya jenis hewan pemakan semak (sapi dan kambing), pemakan rumput (domba). Sapi akan memakan hijauan sampai pada tingkat tertentu dan kambing akan merumput maupun memakan semak apabila terpaksa. Hal ini berarti bahwa mereka mampu memanfaatkan suatu selang vegetasi yang luas meskipun ada tumbuh-tumbuhan yang tidak mereka makan.
Dari segi sosial ekonomi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan tidak berhubungan langsung  dengan ternak obyeknya. Segi ekonomi lebih mengarah pada ada/tidaknya modal sebagai penyedia input dan kelangsungan proses penangkaran sebagai produksinya dan pertimbangan akan hasil yang dikeluarkan sebagai out putnya. Segi sosial, lebih mengarah pada ketaatan terhadap undang-undang (sosial etis) dan kesiapan untuk menerima  dan melakukan proses domestikasi/penangkaran terhadap satwa liar ini.
Nampaknya  masa depan satwa liar sebagai suatu sumber daya yang dapat di eksploitasi dan dikembangkan sebagai suatu faktor penambah keanekaragaman hewan domestic sangat bagus prospeknya, sebagai contoh,  peternakan Gazzella (sejenis rusa) telah dipraktekan dan hasilnya sangat memuaskan selama bertahun-tahun di Afrika Selatan.  Bahkan peternakan ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3000 orang dengan produksi lebih dari tiga juta kilogram daging pertahun.  Indonesia dengan potensi sumber daya yang tinggi dimana terdapat beraneka ragam binatang lebih meningkatkan pengembangan dan memasyarakatkan sistem domestikasi/penangkaran ini. Suatu contoh yang berkembang di Indonesia adalah sapi Bali (Bos sondaicus). Jenis ini telah membudidaya di masyarakat dan telah mempunyai status  sosial, bahkan penyebarannya telah sampai ke Australia. Satwa liar yang mempunyai potensi sama besarnya adalah rusa dan anoa yang didukung  dengan populasinya yang masih banyak.
Potensi-potensi tersebut dengan alasan di atas hendaknya digali dan dikembangkan dengan sistem domestikasi sebagai langkah awalnya. Selain itu, pola-pola penangkaran yang telah dikembangkan masyarakat tradisional seperti dilakukan masyarakat di pedalaman Irian Jaya terhadap buaya, yang termasuk kategori farming perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan memberi bimbingan ke arah pola penangkaran profesional, sehingga hasilnya optimal. 


2. Lingkungan Hidup Anoa dan Penyebarannya

2.1. Penampilan umum anoa
        Smith (1827) yang dikutip oleh Mustari (2003b) adalah orang pertama yang mendeskripsikan spesies anoa (Antelope/Bubalus depressicornis) berdasarkan tengkorak seekor anoa di museum British. Spesies Bubalus quarlesi menurut Mustari (2003b) diidentifikasi oleh Ouwen dan dilaporkan pada tahun 1910. Groves (1969) menyatakan bahwa tengkorak anoa yang dideskripsikan oleh Smith tersebut adalah tengkorak dari anoa dataran rendah. Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa dataran rendah berwarna hitam, terdapat bercak putih pada tungkai depan, panjang ekor dapat mencapai persendian lutut belakang, rambut agak jarang pada individu dewasa. Jantan anoa memiliki warna rambut yang lebih gelap dibanding betina, kadang memiliki bercak putih berbentuk sabit (crescent) pada bagian bawah leher. Potongan melintang pangkal tanduk berbentuk triangular, terdapat garis-garis cincin (wrinkled) pada pangkal sampai seperdua panjang tanduk. Panjang tanduk berkisar 271-273 mm pada jantan, 183-260 mm pada betina. Panjang tengkorak 298-322 mm pada jantan dan 290-300 mm pada betina.
Text Box:
            Lebih lanjut dideskripsikan oleh Groves (1969) bahwa anoa gunung memiliki warna rambut coklat kehitaman atau coklat kemerahan. Rambut lebih tebal, tidak terdapat bercak putih bentuk sabit pada leher. Ekor lebih pendek, tidak lebih dari seperdua jarak pangkal ekor dengan persendian lutut belakang. Potongan melintang pangkal tanduk berbentuk conical, tidak terdapat garis-garis cincin (wrinkled) pada pangkal tanduk. Panjang tanduk 146-199 mm, panjang tengkorak 244-290 mm.
            Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor 180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1995; Mustari, 2002; Kasim, 2002) karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.

2.2. Penyebaran dan populasi
            Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi. Heller (1889) menyatakan bahwa anoa terdapat di Gorontalo, sekitar Minahasa, Likupang, Lempias dan hutan antara Langowan dan Pangku. Mohr (1921) menggambarkan penyebaran anoa di Sulawesi Utara meliputi daerah Minahasa, Klabat, Teluk Tomini, Matinang dan Randangan. Anoa di Sulawesi Tengah, dijumpai di sekitar danau Lindu, daerah Besoa, Bada, Topebatu Toli-Toli Banggai dan Tobungku. Wilayah Sulawesi Selatan mencatat adanya anoa di sekitar danau Matana, danau Towuti dan Lalangatu. Selain itu Mohr (1921) menyatakan bahwa anoa gunung dapat dijumpai di Sulawesi selatan mencakup wilayah Tanah Toraja, Binuang, Palopo, pegunungan Bowonglangi, pegunungan Bontain gunung Lompobattang dan pegunungan Mandar. Harper (1945) menulis mengenai keberadaan anoa di Mamuju, Mamasa, Makale-Rantepao, Palopo, Buton, Kendari, Kolaka, Malili dan Masamba.
            Tidak semua daerah yang tersebut di atas pada saat ini dihuni oleh anoa disebabkan oleh perambahan hutan dan perburuan liar terhadap satwa ini (Mustari, 1997). Berdasarkan data dari IUCN (2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Daftar Merah (Red List Book) IUCN memasukkan anoa dalam status “endangered”.  Anoa pada dewasa ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan besar. Wilayah Sulawesi Utara mencatat adanya anoa di Taman Nasional (TN) Dumoga Nani Warta Bone, Cagar Alam (CA) Panua dan beberapa kawasan hutan konsesi HPH (Hak Penebangan Hutan). Anoa di Sulawesi Tengah masih dapat dijumpai di Besoa (Sugiharta, 1994) dan TN Lore Lindu. Keberadaan anoa di Sulawesi Tenggara ditemukan di hutan Suaka Margasatwa (SM) Kolaka Utara, TN Rawa Aopa, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo, SM Tanjung Amolengu dan SM Buton Utara. Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan perkembangbiakan anoa menjadi terhambat. Upaya pelestarian anoa memerlukan adanya identifikasi, studi serta evaluasi dengan berbagai model pendekatan/aspek untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mencapai sasaran.



2.3. Habitat
            Habitat anoa adalah hutan primer di pulau Sulawesi, yaitu hutan yang belum dijamah manusia. Anoa sering dijumpai di hutan sekunder, di pinggir hutan atau di daerah yang relatif terbuka pada malam hari. Hutan lebat berfungsi sebagai pelindung (cover) bagi anoa. Sewaktu mencari makan, satwa ini menyukai habitat yang relatif terbuka dan didapati banyak jenis tumbuhan bawah, semak, herba dan perdu (Mustari, 1997).
            Anoa dataran rendah menghuni hutan dataran rendah dengan ketinggian kurang lebih sampai 700 m di atas permukaan laut. Anoa gunung menghuni hutan pegunungan. Pembagian semacam ini akan tetapi tidak bersifat mutlak karena sering dijumpai anoa dataran rendah pada daerah yang lebih tinggi atau anoa dataran tinggi dijumpai mengunjungi pantai untuk minum air laut (Mustari, (1995 dan 2003a); Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al., (2005).

3. Prospek dan Potensi Anoa sebagai Satwa Budidaya
            Anoa diburu untuk dimanfaatkan kulit, tanduk dan dagingnya. Tanduk anoa dipercaya dapat menyembuhkan beberapa macam penyakit pada manusia (sakit perut, keseleo, luka ringan) dan juga ternak. Berdasarkan hasil penelitian Kasim (2002) diperoleh informasi bahwa anoa memiliki indeks penyebaran kelompok urat daging baku lebih baik daripada sapi, kerbau dan banteng. Rendahnya perlemakan ini disebabkan agresivitas dan aktifitas jelajah anoa di habitatnya yang lebih tinggi dibandingkan satwa lain yang telah didomestikasikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anoa mampu beradaptasi dengan cepat secara baik terhadap jenis bahan pakan yang ada di kondisi ex situ, sehingga memungkinkan untuk dijadikan satwa budidaya. Meskipun demikian Kasim (2002) menegaskan bahwa pada kondisi penangkaran atau budidaya anoa masih banyak mendapat cekaman (stress) baik akibat suhu lingkungan ataupun karena makanannya, sehingga perlu diketahui dan dipelajari dari segi aspek domestikasi tersebut.

4. Hal-hal yang Menjadi Ancaman terhadap Kelestariannya

Jenis-jenis endemik terbentuk karena adanya habitat yang spesifik. Jenis-jenis tersebut hanya terdapat pada habitat di tempat mereka terbentuk dan hanya mampu beradaptasi dengan karakteristik habitat tersebut. Apabila habitatnya mengalami perubahan secara drastis (misalnya oleh adanya polusi, konversi lahan, fragmentasi habitat, dll), maka jenis-jenis endemik sering tidak mampu beradaptasi mengikuti perubahan tersebut. Dihadapkan dalam kondisi seperti ini, jenis-jenis endemik akan mengarah pada kepunahan. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menegaskan dengan kata lain, jenis-jenis endemik mudah mengalami kepunahan apabila habitatnya terganggu.
            Kemampuan adaptasi yang lemah tidak saja terjadi terhadap perubahan habitat, tetapi juga dalam hal beradaptasi dengan jenis-jenis baru (Malik et al., 2004). Jenis-jenis endemik tidak terbiasa hidup berkompetisi, sehingga akan mengalami tekanan apabila ke dalam habitatnya diintroduksi jenis-jenis dari habitat lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan jenis endemik tersebut. Keberadaan jenis-jenis kompetitor akhirnya akan secara lambat laun menyingkirkan posisi jenis-jenis endemik. Umumnya jenis-jenis endemik juga kurang atau bahkan tidak terbiasa hidup dengan predator, sehingga dia tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari predator. Apabila ke dalam habitatnya diintroduksi predator maka dalam waktu singkat populasi jenis endemik akan habis. Sama halnya dengan predator, penyebarannya yang terbatas menyebabkan jenis-jenis endemik juga tidak terbiasa dengan patogen yang berasal dari habitat lain. Kedatangan jenis-jenis introduksi yang membawa patogen baru ke habitat di tempat jenis-jenis endemik berada dapat menimbulkan wabah yang memusnahkan jenis-jenis endemik. Pemaparan tersebut menunjukkan betapa jenis-jenis endemik memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara sangat hati-hati.
            Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru kedalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002).

5. Tingkah laku

5.1. Tingkah laku sosial
            Hasil pengamatan Fadjar (1973) menemukan bahwa anoa lebih sering ditemukan berpasangan. Kelompok  anoa ditemukan apabila ada anoa betina dalam keadaan bunting dan mempunyai anak. Penelitian yang dilakukan oleh Mustari (1995) melaporkan bahwa jarang ditemukan kelompok anoa lebih dari tiga ekor. Menurut Jarman (1974) yang disitasi oleh Hügi et al. (1999) jenis satwa yang mencari pakan dengan meramban, cenderung hidup sendiri atau berpasangan untuk menghindarkan kompetisi dalam mendapatkan pakannya. Dilaporkan juga bahwa anoa mempunyai kesenangan berendam di dalam air dan berkubang di dalam lumpur (Groves, 1969; Fadjar, 1973; Whitten et al., 1987; Mustari, 1995). Periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan satu anak. Seekor anoa dapat mencapai umur sekitar 20-25 tahun. Hasil pengamatan Mustari (1995) melaporkan bahwa anoa aktif di pagi dan sore menjelang malam hari. Periode waktu di antaranya digunakan untuk beristirahat dan beruminasi di dalam hutan.
            Selain manusia, predator yang mengancam kelangsungan hidup anoa adalah ular phyton yang suka memangsa anak-anak anoa (Whitten et al., 1987). Beberapa peneliti menyatakan bahwa anoa tidak toleran terhadap kehadiran spesies asing di wilayahnya. Mereka memilih menghindar ke dalam hutan-hutan primer dan daerah dataran tinggi (Manansang et al., 1996). Menurut pengamatan Mustari (1995) anoa sebenarnya adalah satwa yang pemalu dan tidak suka ribut. Satwa ini menjadi ganas jika dalam keadaan terluka atau habis melahirkan. Whitten et al. (1987) melaporkan bahwa anoa tidak pernah berada di wilayah yang sama dengan rusa maupun babi hutan. Hal ini diduga karena kebiasaan anoa sebagai “browser” dan rusa sebagai “grasser”. Meskipun demikian karena habitat yang semakin sempit, Mustari (1995) menemukan bahwa anoa dan rusa hidup berdampingan di SM Tanjung Amolengu pada area seluas 5 km2.
            Menurut informasi Whitten et al. (1987), anoa adalah binatang monogamus dan tidak menandai wilayah kekuasaannya. Keberadaan anoa di dalam suatu wilayah ditandai dengan adanya bekas defekasi, goresan tanduk pada pepohonan maupun bekas galian tanah di sekitar tempat satwa ini melakukan defekasi. 

5.2. Tingkah laku makan
            Sebagaimana ruminansia pada umumnya, pakan anoa terdiri atas pakan hijauan sebagai pakan dasar yang kaya serat kasar untuk sumber energi dan memenuhi isi lambung, dan pakan konsentrat yang kaya protein, energi, mineral organik dan vitamin yang diperlukan ternak. Ransum pakan tradisional lebih menitik beratkan perpaduan rumput dan dedaunan dengan indikator utama kenaikan bobot badan (Pujaningsih, 2005). Kerbau liar kerdil yang endemik ini makan rerumputan, paku-pakuan, semak serta buah-buahan yang jatuh (Mackinnon and MacKinnon, 1979). Sejauh ini belum tersedia data mengenai kebutuhan nutrisi untuk anoa sebagaimana hewan ternak lainnya. Anoa liar di alam bebas memakan “aquatic feed” antara lain berupa pakis, rumput, tunas pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-umbian. Berdasarkan pengamatan Mustari (1995 dan 2003a); Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al., (2005)  dilaporkan bahwa anoa dataran rendah kadang-kadang juga meminum air laut yang diduga untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka. Anoa di dataran tinggi, menjilat garam alami dalam rangka pemenuhan kebutuhan mineralnya.
            Anoa diadaptasikan di tempat-tempat penangkaran maupun kebun binatang, dengan diberi pakan segar yang tersedia di lokasi (Malik et al., 2004; Pujaningsih, 2005; Pujaningsih et al., 2005). Manansang et al. (1996) merekomendasikan pakan dari jenis dedaunan (daun nangka, daun pisang, daun singkong atau yang lainnya), rerumputan, buah-buahan (pisang, nangka, pepaya, jambu atau yang lainnya), sayuran (kangkung, wortel, lobak, ubi, singkong), konsentrat yang mengacu pada konsentrat sapi potong serta garam mineral.
Tugas :
Buat paper dengan tema:
  1. Konservasi ex situ dan konservasi in situ
-          Pengertian
-          Tujuan
-          Prospek implementasi
  1. Peran IUCN dan CITES dalam konservasi keanekaragaman hayati
-          Misi Visi IUCN
-          Pengertian List of Appendix
  1. Peraturan dan Perundang-undangan yang terkait dalam upaya konservasi dan pemanfaatannya sebagai satwa budidaya.
-          UU no. 5 th 1990 dan PP no 8 tahun 1999 (Kehutanan)
-          dilakukan penelitian ke arah budi daya anoa sesuai dengan UU no 18 th 2009 (Peternakan)
-          Apa nama UU dan pasal-pasal mana yang mendukung usaha budidaya satwa harapan.

penerimaan baan baku dalam pabrik pakan



Receiving

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan bahan pakan adalah:
a. Bahan baku yang dibeli berkualitas bagus yang telah dilengkapi dengan hasil analisis laboratorium
b.  Daerah untuk penerimaan dan pembongkaran bahan baku harus bersih dan drainase yang baik
c. Transportasi yang akan digunakan untuk mengangkut bahan baku harus diperiksa keadaan fisik dan kebersihannya. Kendaraan untuk mengangkut ternak tidak digunakan untuk mengangkut pakan.
d.  Pengelolaan bahan pakan
Variasi alami dan pengolahan bahan baku dapat menyebabkan kandungan zat makanan yang berbeda. Bahan baku sering terkontaminasi atau sengaja dicampur dengan benda-benda asing dapat menurunkan kualitas sehingga perlu dilakukan pengujian secara fisik untuk menentukan kemurnian bahan. Penurunan kualitas bahan baku dapat terjadi karena penanganan, pengolahan atau penyimpanan yang kurang tepat. Kerusakan dapat terjadi karena serangan jamur akibat kadar air yang tinggi, ketengikan dan serangan serangga. Pengawasan mutu bahan baku harus dilakukan secara ketat saat penerimaan dan penyimpanan. Pemilihan dan pemeliharaan kualitas bahan baku menjadi tahap penting dalam menghasilkan ransum yang berkualitas tinggi. Kualitas ransum yang dihasilkan tidak akan lebih baik dari bahan baku penyusunnya (Fairfield, 2003).
Proses produksi pakan ternak merupakan rangkaian aktivitas yang meliputi penggilingan, pencampuran, pelleting dan pengepakan. Bahan baku yang dibeli biasanya terdapat dalam bentuk dan ukuran yang berbeda, untuk menghasilkan ukuran yang seragam diperlukan penggilingan untuk menurunkan ukuran partikel. Homogenitas ukuran dan bentuk bahan baku mempengaruhi hasil pencampuran dan proses pelleting. Pengawasan mutu selama proses produksi mutlak dilakukan karena penggilingan dan pencampuran yang tidak sempurna tidak akan menghasilkan ransum seperti yang diharapkan.
Pengambilan sampel
     Bahan pakan dilakukan pada saat awal, pertengahan dan di akhir pemuatan dan diambil pada 5 tempat pada kemasan material yaitu 4 sudut dan bagian tengah. Pengambilan sampel ini diambil dengan arah diagonal. Apabila bahan baku berupa cairan pengambilan sampel dapat dilakukan setelah bahan cair tersebut didiamkan 5 menit.
Semua sampel harus diletakkan pada peti yang besar kemudian dicampur dan sebanyak ¼ sampai dengan ½ kg diletakkan pada temapat tertentu untuk identifikasi. Identifikasi yang dilakukan adalah tanggal, nomor kendaraan, bahan baku, jumlah penerimaan, nama pemasok dan nama pengambil sample, untuk menjamin kualitas ransum adalah pengambilan sampel dan pengujian bahan baku sebelum dilakukan pembongkaran. Pengawasan mutu dan prosedur analisis tidak akan terlepas dari kegiatan pengambilan sampel. Proses pengambilan sampel menekankan pola sampling, jumlah sampel yang diambil, ukuran sampel dan penyimpanan sampel yang benar (Plumstead dan Brake, 2003).
Langkah awal program penjaminan kualitas (Quality Assurancel) ialah melalui pengawasan mutu (Quality Control). Pengawasan mutu dilakukan pada setiap aktivitas dalam menghasilkan produk dimulai dari bahan baku, proses produksi hingga produk akhir. Bahan baku yang digunakan sebagai input dalam industri pakan ternak diperoleh dari berbagai sumber, mempunyai kualitas yang sangat bervariasi. Bervariasinya kualitas bahan baku disebabkan oleh variasi alami (natural variation), pengolahan (processing), pencampuran (adulteration) dan penurunan kualitas (damaging and deterioration) (Khajarern, dkk. 1987).
Tindakan sangat penting dalam pengawasan mutu bahan baku dan proses produksi adalah pengambilan sampel (sampling). Laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan yang canggih dan didukung dengan tenaga ahli yang berpengalaman tidak akan mampu memberikan data yang akurat tanpa didukung ketersediaan sampel yang tepat. Teknik, jumlah dan peralatan yang tepat diperlukan untuk memperoleh sampel yang representatif.
Pola sampling pada industri pakan ternak secara umum terdiri dari simple random sampling, stratified random sampling dan systematic sampling (Herrman, 2001). Industri pakan ternak biasanya menggunakan kombinasi ketiga pola tersebut baik untuk bahan baku curah (bulk ingredients), bahan baku kemasan (bagged ingredients) maupun bahan baku cair (liquid ingredients).
Jumlah sampel yang diambil sama pentingya dengan pola pengambilan sampel. Sampel yang representatif diperoleh melalui 3 tahap yaitu pengambilan sampel primer (primary sample), sampel sekunder (secondary sample) dan sampel uji (inspection sample). Sampel primer diambil dari beberapa titik dari sekumpalan bahan baku. Jumlah sampel primer yang banyak harus dikurangi menjadi sampel sekunder kemudian dijadikan sebagai sampel uji yang akan dibawa ke laboratorium. Pengambilan jumlah sampel harus memperhitungkan akurasi, tingkat kepercayaan dan perhitungan ekonomis.
Peralatan Sampling
Sampling secara manual membutuhkan perlengkapan untuk mengambil sampel seperti grain probe, bag trier, bom sampler dan alat pemisah sampel seperti Riffler dan Boerner Divider. Grain probe (Gambar 1) digunakan untuk mengumpulkan sampel berupa biji-bijian, bungkil kedelai dan ransum akhir. Probe harus cukup panjang sehingga mampu masuk sekitar ¾ ke dalam bahan baku. Probe tersedia dengan panjang standar 5, 6, 8,10 dan 12 kaki (GIPSA, 2001).
Bag trier terdapat dalam 3 bentuk yaitu tapered bag trier, double-tube bag trier dan single tube open-end bag trier. Tapered bag trier (Gambar 2) terbuat dari stainless steel dengan bentuk ujung meruncing, digunakan untuk mengambil sampel tepung dan komoditi butiran dalam karung tertutup. Double tube bag trier terbuat dari stainless steel digunakan untuk digunakan untuk mengambil sampel bentuk tepung baik pada karung terbuka maupun tertutup. Single tube open-end bag trier terbuat dari stainless steel digunakan untuk komoditi bentuk tepung pada karung terbuka.
              
Gambar 1. Grain Probe   Gambar 2. Tapered Bag Triers Gambar 3. Bomb Sampler
Bomb sampler (Gambar 3) digunakan untuk mengumpulkan bahan baku cairan. Alat ini mempunyai panjang 12-16 inci dengan diameter 1¾ - 3 inci. Katup terangkat jika mencapai dasar tangki atau diangkat secara manual.
Sampel yang diambil dari setiap titik pengambilan dilakukan pencampuran secara merata sebelum dilakukan pengurangan. Pengurangan jumlah sampel dapat dilakukan dengan menggunakan Diverter-type (Gambar 4), Boerner Divider (Gambar 5), riffler (Gambar 6) atau dengan menggunakan metode Quartering (Gambar 7). Diverter-type digunakan untuk sampel bahan baku dengan ukuran partikel yang besar seperti butir-butiran utuh. Sampel yang diambil dengan probe (sampel primer) dimasukkan ke dalam primary sampler dan mengalir melalui tabung menjadi sampel sekunder yang akhirnya menjadi sampel uji.
                  
Pengambilan Sampel
Alat dan teknik yang berbeda digunakan dalam mengambil sampel untuk komoditi yang berbeda. Industri pakan ternak biasanya menggunakan kombinasi pola pengambilan sampel secara acak, bertingkat atau sistematik.
Bahan Baku Curah
 Bahan baku curah berupa butiran dan bungkil kedelai yang diangkut dengan truk atau kereta, sampel diambil menggunakan grain probe. Sampel diambil dari beberapa tempat dengan jumlah sekitar 2 kg setiap sampel (Herrman, 2001). Jumlah titik pengambilan tergantung dari jenis alat angkut dan ukuran kontainer. Pola pengambilan sampel bahan baku butiran yang diangkut dengan truk atau trailer dasar datar diilustrasikan pada Gambar 8. Jika sampling tak mungkin dilakukan dengan alat penguji, maka sampling bahan harus dilakukan saat pembongkaran seluruh muatan.
Bahan Baku Kemasan.
Prosedur pengambilan sampel lain yang harus diketahui, yakni prosedur pengambilan sampel untuk kelompok bahan dalam karung. Sampel yang representatif bisa diperoleh dengan alat penguji berujung runcing. Prosedur pengambilan sampel bahan baku dalam karung dilakukan dengan menusukkan probe secara diagonal dari bagian atas ke bagian bawah karung (Gambar 9). Sampel diambil dari seluruh karung jika jumlah karung 1 – 10 karung, dan sampel diambil dari 10 karung secara acak jika jumlah karung lebih dari 11 karung (Herrman, 2001), namun ada beberapa teori berbeda dalam industri untuk menentukan jumlah karung sampel per kelompok.
Cara sederhana pengambilan sampel yakni sampel diambil pada 10 % dari jumlah karung dalam suatu kelompok. Teori lain dengan memakai akar pangkat dua (Defra, 2002) dari jumlah karung dalam kelompok. Tabel 1 membandingkan dua metode tadi untuk ukuran kelompok yang berbeda. Kelompok bahan pakan 100
Gambar 8. Sampling pada Karung                 karung atau kurang sebaiknya digunakan aturan akar kuadrat sedangkan untuk kelompok lebih dari 100 karung digunakan aturan 10 %. Hal ini untuk menjamin jumlah sampel maksimum yang bisa diambil, hingga diperoleh sampel yang lebih refresentatif.

       Semua sample dan produk harus dijaga dari kerusakan yang disebabkan oleh tikus, serangga, kelembaban dan jamur. Pencegahannya dapat ditempatkan di dalam freezer.

o   Penyimpanan bahan pakan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan bahan pakan adalah:
  Tempat penyimpan pakan harus bersih dan kering
  Tipe penyimpan pakan harus mudah mengalirkan pakan dengan sudut kemiringan kurang lebih 260
  Tempat penyimpan pakan/bin harus sering dibersihkan. Hal ini untuk menghindari pencemaran pakan. Pakan yang menempel pada bagian yang tidak terjangkau akan tertinggal di dalam bin untuk beberapa saat lamanya dan kemungkinan akan keluar sedikit demi sedikit terbawa oleh aliran bahan pakan berikutnya.
Bagian penerimaan dimulai dari area lalu lintas kendaraan/mobil atau truk ditempatkan; terletak di luar area pembongkaran. Tahap ini meliputi menerima, mengeringkan, membersihkan, menyimpan, dan mengelola bahan pakan / material sampai dengan tahap berikutnya. Pengelolaan pada tahap ini ditujukan untuk semua bahan baku / material yang termasuk jugapenerimaan/pengadaan kantong kosong dan persediaan lain. Proses diakhiri diakhiri sampai pada saat material ditempatkan; ditempatkan sementara dimanapun baik di (dalam) bak/peti [gudang/penyimpanan] atau di (dalam) gudang penerima, termasuk juga pekerjaan mengelola dan atau mengkondisikan semua material sesuai keperluan.
Di dalam penanganan bahan pakan, terkait langkah-langkah pengangkutan & distribusi serta pengepakan, dan penyimpanan. Faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan manajemen pakan adalah:
(a) Densitas dan kadar air
            (b) Kapabilitas operator dan fasilitas pendukung
            (c) Pilihan metode/cara
            (d) Diskripsi layanan
Dalam pengelolaan pakan, kategori bahan menjadi pertimbangan utama dalam penetapan teknologi dan strategi pengelolaannya. Untuk kemudian dilanjutkan sebagai dasar dalam perencanaan dan penjadwalan. Perencanaan dan penjadwalan hendaknya mempertimbangkan aspek berikut:
Ø    Banyaknya macam bahan yang akan digunakan,
Ø    Tipe dan karakteristik bahan,
Ø    Sirkulasi (penerimaan-penggunaan),
Ø    Sistem transportasi dan jumlah setiap pengiriman,
Ø    Proses tambahan/pendahuluan,
Ø    Antisipasi terhadap pemanfaatan bahan, dan
Ø    Efisiensi dan pembiayaan
Penanganan bahan/pakan secara ideal dapat dilakukan dengan mengikuti model manajemen dasar, yaitu: mulai dari mengapa, kemudian apa, dimana dan kapan, selanjutnya bagaimana dan siapa (Ilustrasi 1). Mengapa penting atau tidak penting untuk melakukan sesuatu, misalnya pengadaan bahan pakan, perawatan mesin, formulasi ransum dll, merupakan langkah awal proses pengelolaan bahan pakan. Jika memang hal tersebut dipandang penting, kemudian apa yang akan dilakukan merupakan langkah berikut yang harus diatur strateginya, apakah melakukan survey untuk pengadaan material, atau langsung memesan / membeli. Tahap ini harus mempertimbangkan tentang aspek karakteristik bahan, jumlah dan tipe dari material. Material menyangkut faktor tipe material seperti padat, cair, gas; karakteristik seperti bentuk, demensi, suhu, dll; serta jumlah minimum/maksimum, bulanan/tahunan, dll.

Ilustrasi 1. Model manajemen dasar penanganan bahan pakan

Gerak/pergerakan material adalah aspek kapan dan dimana. Dalam hal ini faktor yang harus diperhatikan adalah:
*     sumber, menyangkut scope (daerah, tempat, dll) dan route (datar, melingkar, dll);
*     logistik, seperti di dalam/luar pabrik, load/unload level, load/unload method,
*     karakteristik pergerakan, seperti jarak, frekuensi, kecepatan, urutan; serta
*     tipe pergerakan, seperti transporting, conveying, elevating, transfering
Pemahaman atas material dan pergerakan serta pertimbangan atas bagaimana dan siapa merupakan dasar penetapan metode penanganan. Dalam hal ini  faktor yang harus diperhitungkan adalah:
*     unit penanganan yang meliputi jumlah, berat, kontainer, load support, dll;
*     peralatan yang meliputi kapasitas, karakteristik, tipe, fungsi, biaya;
*     man power yang meliputi cost/time, number/time serta time/movement
Model pengananan juga harus mempertimbangkan kendala fisik seperti area, ketinggian, ukuran pintu, kapasitas/kemampuan lantai, elevator, pergudangan, dll.
Prosedur pembelian dan penerimaan bahan baku yang dikembangkan oleh bagian managemen perusahaan merupakan garis pertahanan awal dalam keamanan pabrik, kualitas ransum dan memberikan kontribusi terhadap keuntungan perusahaan. Industri pakan ternak harus mengembangkan dan mengikuti suatu prosedur penerimaan bahan baku yang meliputi pemeriksaan dokumen bahan yang dikirim, pemeriksaan sensorik (sensory) bahan baku dan dokumen penerimaan.
Prosedur penerimaan bahan baku diperlukan untuk menjamin bahan baku yang datang sesuai dengan spesifikasi kualitas kontrak pembelian. Beberapa prosedur penerimaan bahan baku diantaranya:
Pemeriksaan identitas bahan baku
Pemeriksaan dokumen untuk menjamin kesesuaian kontrak pembelian. Pembongkaran bahan baku tidak dapat dilakukan jika tidak dilengkapi dengan label yang sesuai.
Memastikan berat bahan baku.
Pemeriksaan pada bahan baku kemasan ditujukan untuk menjamin ketepatan dan keseragaman berat bahan baku, jumlah kemasan bahan baku dan tidak ada kebocoran atau kontaminasi. Pemeriksaan bahan baku curah dengan menimbang kendaraan pengangkut.
Pengambilan sampel dan pengujian kualitas bahan baku.
 Periksan dilakukan terhadap kendaraan pengangkut untuk kemungkinan adanya kontaminasi baik secara biologis, kimia maupun fisik. Pengambilan sampel bahan baku sesuai prosedur yang tersedia. Pemeriksaan awal meliputi warna, tekstrur, aroma, kadar air dan benda asing, beberapa bahan baku memerlukan pengujian kandungan mikotoksin (Fairfied, 2003). Penyerahan sampel untuk pengujian kimia zat makanan.
Memastikan pengangkutan bahan baku berisiko tinggi secara benar.
 Beberapa bahan baku mempunyai potensi penyebab masalah jika pengangkutan tidak dilakukan melalui jalur yang benar.
Menyimpan sampel.
 Penyimpanan sampel bahan baku harus dapat menjamin keaslian bahan baku itu. Penyimpanan diperlukan jika timbul pertanyaan terhadap kualitas produk akhir. Daya tahan sampel bervariasi tergantung pada tipe bahan baku dihasilkan dan daya tahan ransum.


Penolakan bahan baku.
Jika hasil sampling dan pengujian menunjukkan kualitas yang tidak sesuai, menolak bahan baku. Mencatat semua alasan penolakan bahan baku.


Pengolahan Material (Handling)
Proses pengolahan material dimulai dengan pengelolaan material yang disimpan di (dalam) bak / peti [gudang /penyimpanan]. Termasuk di dalamnya pengurangan ukuran material, pengepresan kering (crimping) dan pembuatan kepingan-kepingan kecil kering (flaking). Pengelolaan juga meliputi semua tahapan bergeraknya material ke dan dari peralatan prosesing yang berakhir sebagai bahan setengah jadi yang ditempatkan / disimpan di dalam bak/peti (bin) siap untuk dikemas atau juga didistribusikan langsung kepada konsumen. 
Proses conditioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang ditujukan untuk gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pellet menjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus. Proses conditioning ditujukan untuk gelatinisasi dan melunakkan bahan agar mempermudah pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat pakan menjadi steril, terbebas dari kuman atau bibit penyakit; menjadikan pati dari bahan baku yang ada sebagai perekat; pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak mudah mencernanya; menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu makan ternak.

Proses conditioning dilakukan dengan bantuan steam boiler yang uapnya diarahkan ke dalam campuran pakan. Apabila penguapan dilakukan dengan mixer jenis beton molen, proses penguapan dilakukan sambil mengaduk campuran pakan tersebut. Penguapan tidak boleh dilakukan di atas suhu yang diizinkan, yaitu sekitar 80°C. Pengukusan dengan suhu terlalu tinggi dalam waktu yang lama akan merusak atau setidaknya mengurangi kandungan beberapa nutrisi dalam pakan, khususnya vitamin dan asam amino. Dalam proses pembuatan pakan ayam ras pedaging, penguapan tidak mutlak diperlukan. Selama proses kondisioning terjadi penurunan kandungan bahan kering sampai 20% akibat peningkatan kadar air bahan dan menguapnya sebagian bahan organik. Proses kondisioning akan optimal bila kadar air bahan berkisar 15 – 18%.

Sistem kerja mesin pencetak sederhana adalah dengan mendorong bahan campuran pakan di dalam sebuah tabung besi atau baja dengan menggunakan ulir (screw) menuju cetakan (die) berupa pelat berbentuk lingkaran dengan lubang – lubang berdiameter 2 – 3 mm, sehingga pakan akan keluar dari cetakan tersebut dalam bentuk pellet. Kelemahan sistem ini adalah diperlukannya tambahan air sebanyak 10 – 20% ke dalam campuran pakan, sehingga diperlukan pengeringan setelah proses pencetakan tersebut. Penambahan air dimaksudkan untuk membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga bisa keluar melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam campuran, mesin akan macet. Di samping itu, pellet yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang padat.


Berbeda dengan mesin sederhana, sistem kerja mesin yang biasa digunakan di industri pakan adalah dengan cara menekan atau menggiling bahan baku pakan dengan menggunakan roda baja (roller) pada cetakan (die). Pellet yang keluar dari cetakan tersebut kepadatannya sangat baik.

Selama proses conditioning  terjadi peningkatan suhu dan kadar air dalam bahan sehingga perlu dilakukan pendinginan dan pengeringan. Proses pendinginan (cooling) merupakan proses penurunan temperatur pellet dengan menggunakan aliran udara sehingga pellet menjadi lebih kering dan keras. Proses ini meliputi pendinginan butiran-butiran pellet yang sudah terbentuk, agar kuat dan tidak mudah pecah. Pengeringan dan pendinginan dilakukan pada tahap ini untuk menghindarkan pellet itu dari serangan jamur selama penyimpanan


Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam pakan menjadi kurang dari 14%, sesuai dengan syarat mutu pakan ternak pada umumnya. Proses pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan dengan mesin sederhana. Jika pencetakan dilakukan dengan mesin pellet sistem kering, cukup dikering anginkan saja hingga uap panasnya hilang, sehingga pellet menjadi kering dan tidak mudah berubah kembali ke bentuk tepung.

Proses pengeringan bisa dilakukan dengan penjemuran di bawah terik sinar matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada cuaca, higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai tercemar debu atau kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang dikhawatirkan akan membawa penyakit. Jika alat yang digunakan mesin pengering, tentu akan memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang cukup tinggi.
Perlakuan akhir yaitu penyimpanan di dalam gudang,,sebelum masuk ke tangan konsumen harus melalui tahap pengambilan sample